Cyberculture
Masyarakat
merupakan kumpulan individu yang menempati suatu wilayah tertentu dalam jangka
waktu yang lama. Masyarakat itu sendiri bersifat dinamis selalu mengalami
perubahan karena perkembangan pola pikir, lingkungan dan sebagainya, hal tersebut
menuntut manusia untuk beradaptasi. Begitu pula dalam hal perkembangan
teknologi yang selalau mengalami perkembangan, juga berpengaruh terhadap budaya
yang sebelumnya telah terbentuk, mau tidak mau kedua hal tersebut mesti saling
beradaptasi atas perkembagannya karena kedua hal tersebut saling berkaitan.
Berdasarkan
hal tersebut, makalah ini akan membahas tentang teknologi budaya. Bahasan
makalah ini terkait dengan konsep budaya dan teknologi, hubungan atau
keterkaitan budaya dan teknologi, dan perkembangan teknologi budaya dalam
perkembangan masyarakat.
Konsep
Budaya dan Teknologi
Salah
satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph
Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian
kebudayaan dalam kehidupan sehari -hari:
“Kebudayaan
adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian
tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”.
Jadi,
kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk
tertentu. Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan
dengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan.
Konsep-konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan
pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari.
Kebanyakan
dari kita memahami budaya teknologi (technoculture) dalam
pengertian
yang sempit, yakni di dalam penggunaan perangkat elektronis (electronic
devices). Pengertian semacam inilah yang selalu menjadi suatu stigma tentang
medan teknologi (technological realm), sehingga terkesan bahwa teknologi lebih
merupakan dunia yang bersifat ekslusif dan berhubungan dengan konsumsi yang
berbasis pada sistem kelas sosial. Andrew Ross (1991) menerjemahkan budaya
teknologi (technoculture) sebagai: “a circuit of cultural practices touched by
advanced technology”. Pengertian ini dimaknai sebagai praktek budaya dimana
sirkuit reproduksi budaya, sosial, ekonomi dan politik dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi. Pengertian mengenai teknologi sebagai suatu praktek
kebudayaan (cultural practices) jauh sebelumnya telah dijelaskan oleh Walter
Benjamin pada tahun 1939 dalam artikelnya, “The Work of Art in the Age of
Mechanical Reproduction”. Karya Benjamin secara garis besar menjelaskan
bagaimana transformasi di dalam konsepsi dan relasi antara self
(kesadaran/entitas diri) dengan realitas dimaterikan melalui reproduksi mekanis
dan disimbolisasikan melalui kamera. Perubahan lingkungan sosial ekonomi
masyarakat industri telah memungkinkan berlangsungnya produksi
massa
dan inovasi teknologi sehingga mengambil ruang yang lebih luas lagi di dalam
praktek dan media kesenian. Walaupun, menurutnya pada gilirannya, proses ini
memisahkan seni ritual-tradisional sehingga memiliki muatan nilai yang baru dan
memiliki nilai ekonomis dalam pasar yang khusus/terbatas. Argumen Benjamin yang
paling mendasar menyatakan bahwa reproduksi mekanis secara definitif ‘tak dapat
didefinisikan sebagai reproduksi otentisitas’. Menurutnya, reproduksi mekanis
memungkinkan ‘emansipasi pengkaryaan seni tidak lagi semata-mata tergantung
pada praktek ritual tradisional’. Dengan kata lain, Benjamin menandai lokasi
penting di dalam transformasi budaya yang melibatkan peran teknologi yang
mengubah praktek sosial, ekonomi dan politik, yakni munculnya ‘massa’ (masses)
dan gerakan-gerakan massa (mass movements). Reproduksi mekanis memungkinkan
aktor (kita sebagai pencetus gagasan dan penghasil karya atau wujud budaya)
memiliki publik yang tak terbatas.
Keterkaitan
antara budaya dan teknologi
Pada
zaman sekarang ini, perkembangan masyarakat kompleks diiringi dengan
perkembangan teknologi sebagai peralatan hidup masyarakat yang pesat. Kini
teknologi yang digunakan masyarakat tidak hanya sekedar sebagai peralatan hidup
untuk mempermudah kegiatan manusia, tetapi telah beralih fungsi yang dapat
digunakan untuk menginterpretasikan budaya yang dianutnya.
Masa
sekarang ini, kita memasuki suatu ruang praktek budaya dimana teknologi
mengubah bukan hanya kebiasaan hidup sehari-hari yang menjadi basis sosial
kita, melainkan juga berpengaruh di dalam formasi struktur sosial, dimana klasifikasi
‘pembeda’ praktek budaya terus berlangsung di dalam medan sosial yang bersifat
multidimensional. Pengertian multidimensional disini yang saya maksudkan
adalah, medan sosial kini tidak semata-mata berbasis pada bentuk-bentuk
interaksi sebagai organisme sosial yang mensyaratkan setiap orang memperoleh
‘keanggotaannya secara formal’ di dalam kelas sosial (social membership) dimana
identitas subyek menjadi prasyarat. Praktek budaya melalui teknologi multimedia
canggih, memungkinkan beroperasinya medan budaya dimana ‘estetika’ tetap
dimungkinkan berlaku sebagai ‘norma’ yang menstandarkan basis hierarki
cita-rasa seni yang bersifat historis-generatif, tetapi praktek budaya
teknologi tersebut juga sekaligus men-destabilisasi-kan atau bahkan
men-dekonstruksi norma tersebut.
Jikalau
dalam praktek ‘berkesenian’ estetika merupakan bagian yang secara ekslusif
menandai identitas seniman; maka dalam praktek technoculture relasi antara
‘estetika dan identitas’ bersifat ambigu. Misalnya, cyberculture memungkinkan
kategori identitas di dalam ruang praktek teknologi virtual berdampak pada
pudarnya basisbasis ‘struktur-kelas sosial’ sebagai penanda seberapa banyak
kapital budaya yang dimiliki seseorang (individu), sekaligus mengaburkan ‘norma
standar’ tentang keshahihan (legitimate) suatu ekspresi budaya. Dalam konteks
ini, identitas tidak lagi merupakan suatu kategori yang bersifat ‘singular’,
melainkan suatu ‘posisi temporer’ (temporarily occupied positions) yang bahkan
bisa bersifat multiple ‘berganda’ di dalam komunitas yang luas dan beragam
(multikultur).
Budaya
teknologi melalui kemunculan komunitas maya (cyberculture)
memungkinkan
‘artikulasi identitas bukan lagi menjadi ruang dimana ‘subyektivitas’
tertundukkan oleh ‘kolektivitas’ sebagaimana yang berlangsung pada ‘ruang sosial
fisik’ kita. Donna Harraway (1989, dipublikasi ulang tahun 2003) menjelaskan
bahwa perkembangan teknologi informasi melalui internet bukan sekedar
transformasi teknologi melainkan transformasi kebudayaan yang di dalamnya
memuat ideologi baru yakni: (1) teknologi merupakan elemen mesin yang
menyesuaikan dan memperluas jangkauan kehadiran fisik kita ; (2) mesin itu
sendiri sebenarnya adalah kita, kita sendiri yang menggerakkannya, dan
karenanya merupakan perwujudan (embodiment) kita; (3) mesin tersebut bukan
sesuatu yang semata-mata bersifat mekanis dan sepenuhnya menguasai kita. Ia
menggarisbawahi bahwa persekutuan antara manusia dan mesin teknologi ini adalah
metafora mengenai ‘cyborg’ yakni: ‘a cybernetic organism, a hybrid of machine
and organism, a creature of social reality as well as a creature fiction’.
Pernyataan Donna Harraway ini memunculkan pertanyaan bukan lagi mengenai
‘apakah’ melainkan; ‘bagaimana persekutuan antara manusia dan mesin teknologi
memiliki konsekuensi di dalam medan transformasi
budaya
yang semula berkarakter eksklusif menjadi suatu ruang praktek budaya yang
bersifat inklusif, khususnya di dalam praktek visual sebagai ‘the art of
everyday life’.
Bill
Nichols (2000) menandai argumentasi Benjamin mengenai ‘reproduksi
mekanis’
di dalam mencermati perkembangan technoculture mengenai cybernetic systems
(sistem cybernetic). Sistem cybernetic meliputi seluruh rangkaian mesin dan
piranti-piranti yang mengisi dan menggerakkan kemampuan komputasi. Sistem
semacam ini bersifat dinamis bahkan jika sekalipun bersifat terbatas, memiliki
kemampuan kecerdasan tinggi. Jaringan telpon, komunikasi satelit, sistem radar,
video compact disk yang dapat diprogram, robot, rekayasa sel-sel biogenetik,
sistem pengaturan roket, jaringan internet, seluruhnya yang mampu digerakkan
melalui kinerja komputasi yang berisikan kapasitas untuk memproses informasi
dan mengambil (mengeksekusi) tindakan (action). Seluruh piranti teknologi itu
dapat kita sebut sebagai ‘cybernetic’ dikarenakan keseluruhan proses teknologi ini
meliputi
kemampuan
mekanisme meregulasikan (mengatur) dirinya sendiri (self-regulating mechanism)
atau sistem yang telah terlebih dahulu mendefinisikan
keterbatasan-keterbatasannya (predefined limits) dan berkenaan dengan
melaksanakan tugas-tugas yang telah terlebih dahulu didefinisikan (predefined
tasks). Dengan mengacu pada tesis Walter Benjamin, Bill Nichols mengajukan
pertanyaan serupa yakni,
“bagaimana
sistem cybernetic disimbolisasikan melalui kinerja komputasi
merepresentasikan
serangkaian transformasi-transformasi di dalam konsepsi
mengenai
self dan realitas.” Nichols menyatakan bahwa pertanyaan semacam itu
merupakan
suatu ambivalensi yang mengacu pada apa-apa saja yang membentuk imajinasi
mengenai keberadaan yang liyan (other) karena sistem cybernetic merupakan
‘kecerdasan artifisial’.
Perkembangan
budaya dan teknologi dalam kehidupan masyarakat
Dalam
satu dasawarsa terakhir, budaya visual khususnya fantasi memvisualisasikan diri
merupakan unsur yang dominan di dalam realitas bekerjanya sistem cybernetic.
Pengunaan icon dari bentuk ekspresi diri yang sederhana (smiley) hingga kreasi
imajinatif merupakan unsur yang dominan di dalam cyberculture. Aplikasi surat
elektronik (email) yang fasilitasnya disediakan secara gratis oleh provider
besar semacam; Yahoo, MSN, Gmail, dan lain-lain, merupakan pintu masuk yang
paling sederhana bagi setiap orang untuk mengeksplorasi praktek visualisasi
diri, khususnya ketika forum-internet melalui fasilitas ‘chat-room’ berkembang.
Avatar, sebagai suatu bentuk imajinasi visualisasi diri semula merupakan
‘praktek estetis’ yang sirkulasinya terbatas hanya pada mereka yang memiliki
skills dan akses yang luas pada praktek teknologi komputasi berbasis internet.
Meskipun kini, di kalangan kaum muda khususnya, aplikasi avatar merupakan suatu
trend yang cukup populer dan aplikasinya yang mudah dan instan tanpa skills
khusus dikampanyekan secara luas melalui adverstising oleh provider
mobile-technology (perusahaan teknologi seluler) sehingga bukan hanya bisa
diunduh (download) melalui komputer, bahkan oleh piranti cybernetic yang lain
seperti PDA dan atau Handphone yang sistemnya ‘compatible’ memungkinkan
aplikasi internet.
Pada
kamus ensiklopedia ‘on-line’ wikipedia menjelaskan avatar sebagai: (1) suatu
representasi diri pengguna internet baik yang bersifat 3D (3 dimensi) seperti
yang diaplikasikan dalam game komputer; (2) icon-2D (2 dimensi) yang digunakan
dalam forum internet; (3) dan konstruksi teks yang pada mulanya dikenal dalam
sistem MUDs (Multi-User Dungeons), yakni suatu permainan (game) komputer yang
mengkombinasikan elemen-elemen ‘role-playing’, game berkarakter ‘hack and
slash’ (memuat unsur kekerasan), dan ruang ‘chat’ atau obrolan sosial.
Pengertian avatar secara literal diambil dari terminologi Sanskerta yang kemudian
diambil ke dalam tradisi bahasa Yunani dan Latin yang bermakna ‘penampakan
spiritual’ (‘incarnation’, dalam bahasa Inggris). Adalah Neil Stephenson yang
pertama kali mempopulerkan istilah avatar ini ke dalam komunitas cyber melalui
novel ber-genre cyberpunk yang terkenal ‘Snow Crash’ pada tahun 1992. Dalam
novel tersebut, avatar digambarkan sebagai simulasi virtual wujud manusia dalam
realitas virtual di internet yang disebutnya sebagai ‘Metaverse’ (yang secara
simbolis diambil dari mitologi Hindhu kuno tentang sepuluh wujud penampakan
spiritual dari ‘Dewa’). Yang menarik dalam novel tersebut, Stephenson
menggunakan ‘kategori hierarki sosial’ sebagai penanda estetika visual dan
praktek pengetahuan seseorang, dimana semakin ‘berbakat’ dan semakin ‘dilengkapinya
seseorang melalui skills’ sebagai programmer dan hacker, memungkinkannya untuk
menggandakan penampakan diri (multiple incarnation) hingga mencapai level
Metaverse.
Sejarah
visualisasi diri di dalam praktek technoculture pada awalnya sama sekali bukan
ditujukan untuk praktek konsumsi-massa yang bersifat rekreatif, melainkan
bermula dari suatu modul scientific pada pertengahan abad 20 yang dikenal
dengan istilah ‘H-anim’ (Human-animation). Dimana aplikasi visual manusia
digunakan untuk menguji secara matematis produksi obyek teknologi canggih
seperti pesawat luar-angkasa, ruang pengujian arsitektural, aplikasi robotik
sebelum uji-coba secara manual, bahkan aplikasi teknologi ‘surveilence’ seperti
yang digunakan pada sistem perbankan, sirkulasi telekomunikasi-informasi dan
pengujian persenjataan militer (Howard Rheingold: 2006). Dalam perkembangannya,
jangkauan praktek visualisasi diri semacam ‘H-anim’ melalui teknologi internet
diperluas melalui kinerja piranti software VRLM (Virtual Reality Markup Language,
suatu aplikasi 3D dimana human model dianimasikan secara kompleks yang berakar
pada software berbasis Object Oriented Programming Language semacam ‘Java’.
Penggunaan aplikasi semacam ini yang kemudian mendorong munculnya MUDs
(Multi-User Dungeons), suatu program game-komputer interaktif yang memiliki
setting imajinasi sosial, dimana penggunanya dapat ‘mengkreasi’
karakter-karakter yang dapat mendiami suatu lingkup lingkungan sosial tertentu.
Pada awalnya, hampir satu dasawarsa lalu keterkaitan seseorang di dalam praktek
technoculture MUDs semacam ini memang bersifat ‘elitis’; akan tetapi kini,
dikarenakan semakin banyaknya pengakses internet dan teknologi mobile, serta
perluasan ‘multi-user virtual worlds’, serta dukungan modal kapital ekonomi
melalui ‘kekuatan advertising’; aplikasi semacam itu tak perlu lagi
mensyaratkan skills atau pengetahuan khusus yang berbasis pada bahasa program,
melainkan lebih menekankan pada kualitas pengalaman dan intensitas subyek ke
dalam interaksinya di dalam komunitas cyber-world. Seseorang dengan mudah dapat
menciptakan ‘realitas’ seperti yang diimajinasikannya dengan dilengkapi
perangkat hardware khusus atau bahkan sama sekali tidak memerlukan perangkat
hardware yang mensyaratkan metode ‘plug-in’ karena program ‘builder’ software-nya
dapat dibeli dan atau bahkan gratis dapat diunduh melalui internet. Meskipun
perlu dicatat, hal ini berlaku hanya pada pengguna internet yang memiliki
kualitas yang berbeda tergantung pada kondisi hardware dan kapasitas jangkauan
akses yang broadband.
Aktivitas
‘menciptakan realitas virtual’ yang berbasis pada imajinasi kreatif yang secara
sosial berkarakter ‘estetika populer-massif’ (mengaburkan norma estetika seni
dalam pengertiannya sebagai tradisi yang melembaga), kini bahkan dapat kita
akses dengan mudah tanpa skills khusus melalui komunitas cyber ‘Second-Life’.
Second-Life merupakan perkembangan lebih lanjut dari MUDs yang memapankan dan
men-destabilisasi-kan konsepsi dan obyektifikasi ‘mitologi metaverse’
sebagaimana yang digambarkan Sthepenson. Minat yang paling menggelora dalam
komunitas ini adalah ‘ruang fantasi’ dimana subyek pengguna terlibat secara
aktif di dalam komunitas, memiliki kapasitas untuk memperluas jangkauan
identitas diri dengan cara menciptakan dan mengggandakan karakter sekaligus
menciptakan ‘virtual environment’ tetapi juga berkomunikasi secara
inter-personal (interaksi dengan pengguna lain) yang juga mempraktekkan modus
serupa. Konteks semacam ini dinyatakan oleh Rheingold melalui slogan: “Welcome
to the wild side of cyberspace, where ‘magic is real and identity is fluid’ .
Memahami
‘realitas’ yang dihadirkan melalui sistem cybernetic berhubungan dengan
transformasi bentuk-bentuk budaya baru dimana kerja simulasi logico-iconic
melibatkan transmisi audio-visual yang prosesnya bukan hanya sekedar reproduksi
secara mekanis, melainkan bentuk-bentuk penyerapan informasi dan bersifat
timbal-balik (absoption and feedback). Dalam konteks ini, sistem cybernetic
khususnya yang kini kita jumpai dalam teknologi mobile-di satu sisi memainkan
kerja simulasi-meskipun sekaligus sedang membangun suatu formasi sosial yang
memiliki struktur dan agensi-pelaku-pelaku aktif yang menggerakkan struktur
tersebut. Kekuatan simulasi merupakan esensi dari kinerja sistem cybernetic,
dikarenakan kemampuannya untuk menghadirkan imajinasi tentang keberadaan
‘yang-liyan’ (the other). Ien Ang menjelaskan bahwa praktek simulasi di dalam
budaya teknologi berkenaan dengan keberadaan fantasi – yang menjadi persoalan
sebenarnya bukanlah tentang ‘fantasi itu sendiri’ – melainkan fakta yang
menunjukkan aktivitas ‘berfantasi’ itulah yang dipersoalkan. Yakni suatu
aktivitas memproduksi dan mengkonsumsi fantasi yang memungkinkan kita untuk
‘bermain-main’ dengan realitas (Ien Ang, 2001). Kenikmatan yang menjadi ‘candu’
di dalam mengkonsumsi fantasi semacam itu bukan terletak pada upaya-upaya
‘detecting truth’ melainkan pada ‘eksplorasi imajinasi terus-menerus yang
bersifat un-limited’. Hal semacam inilah yang membuat relasi kita dengan
teknologi mobile bukan semata-mata suatu kebutuhan mekanis yang mempermudah
aktivitas kehidupan sehari-hari, melainkan teknologi itu sendiri kini dirancang
sekaligus sebagai suatu arena bermain yang memungkinkan setiap orang untuk
‘menjauhi’ realitas dan memasuki ‘realitas virtual’ dimana energi yang terfokus
di dalamnya bukan ditujukan untuk mengungkap suatu kebenaran faktual, melainkan
memperoleh kesenangan melalui serangkaian aktivitas menjelajah yang tak pernah
ada batasannya.
Analisis
Dari tataran pengguna internet,
cyberculture dapat secara sederhana diterjemahkan sebagai budaya di dunia maya.
Segala kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dunia maya baik dalam segala
bidang dan kegiatan mereka. Cara para netizen berkomunikasi, melakukan
transaksi bisnis, mencari hiburan, mencari teman, mengirim pesan,
memperkenalkan identitas diri dan eksistensi diri, dan sebagainya. Tentu saja,
semua itu membutuhkan perangkat, dan perangkat itu adalah jaringan internet dan
computer. Berarti semua kegiatan tadi dilakukan secara online.
Pada prinsipnya, netizen mempunyai
naluri ingin berbagi, ingin membangun identitas dan eksistensi diri, serta
kredibilitasnya di depan netizen lainnya.
Bagaimana para netizen mewujudkan
nalurinya tersebut di media yang tersedia di dunia maya? Pertama, kebiasaan
yang mudah dilihat adalah identitas virtual netizen. Kecenderungan yang saya
lihat, identitas virtual atau yang biasa disebut avatar, cenderung mencerminkan
kesan yang ingin ditampilkan pada suatu waktu kepada netizen lain. Oleh sebab
itu, kita sering mendengar dengan istilah update profile. Avatar yang diunggah belum tentu
menggambarkan kenyataan yang ada. Kadang nama pun menggunakan nama samaran atau
alias.
Kedua, cara para netizen tersebut
berkomunikasi. Kebiasaan yang dilakukan saat berkomunikasi adalah menulis
komentar dengan saling bergantian. Tidak seperti di dunia nyata, kadang terjadi
distorsi pesan karena ada noise karena overlapping percakapan, dunia maya tidak
memberikan privilege itu.
Percakapan dilakukan secara bergantian. Responnya pun dapat berupa komentar
verbal atau pun non-verbal. Verbal berarti komentar berupa tulisan, sedangkan
non-verbal menggunakan gamification,
seperti emoticon, kata dalam Facebook terdapat symbol Like atau Dislike. Perkenalan pertama
menggunakan tombol Request
Friend, setelah diterima, maka komentarnya : “Thanks ya udah di approve,
atau Terimakasih boleh gabung. Pada intinya, respon positif atau negative
dilakukan dengan pilihan – pilihan emoticon atau tombol atau kotak yang
disediakan.
Seperti layaknya di dunia nyata,
dunia maya pun terdapat kaidah – kaidah sosialnya. Di mana pemilih media sosial
atau situs atau jejaring sosial, memberikan batasan – batasan norma tertentu
pada saat netizen tersebut pertama kali mendaftar. Konten – konten rasis,
pornografi, atau hal – hal yang menyalahi hak kekayaan intelektual tidak
diperbolehkan untuk diunggah. Dan apabila netizen melakukan pelanggaran norma –
norma cyberculture, ada
konsekuensi sosial virtualnya juga. Seperti misalnya, akun-nya dibekukan
(blocked), atau di-unfriend oleh
netizen lain.
Mengapa sampai ada cyberculture? Jawaban singkat
adalah manusia seperti dua sisi mata uang, yin and yang, positif dan negatif,
idealis dan realis. Cyberspace diciptakan
manusia untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi dan berbagi mereka yang belum
terpenuhi/ belum dapat mempunyai wadah di dunia nyata.
DAFTAR
PUSTAKA
Setyaningrum,
ari.2007. Avatar: “Visualizes yourself!”(Estetika Populer dan Identitas dalam
Technoculture).http//en.Avatar-by tia.pdf
Siregar,
leonard.2007. Antropologi Dan Konsep Kebudayaan.http//en.Antokebud.pdf


