Thursday, November 27, 2014

Mengulas Pengaruh Budaya Islam dan Kristen di Indonesia

  • Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial
Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.

Penyebaran Islam, dengan cara:
  1. Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik lokal (palace circle).
  2. Tasawuf. Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock yang signifikan, membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.
  3. Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.
  4. Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.


Pengaruh Islam di Indonesia: 

1. Bidang Bahasa

Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi. 

Kosakata Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab

Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
isnain
Senin (dua)
`ajā'ib
Ajaib
tsalasa
Selasa (tiga)
`aib
Aib (malu)
arbain
Rabu (empat)
Ahl
Ahli
kamis
Khamis (lima)
`ādil
Adil
jumu’ah
Jumat (ramai)
`abd
Abdi
badan
Tubuh
abadī
Abadi
yatim
Yatim
Abad
Abad
wujud
Wujud (rupa)
dahsha
Dahsyat
usquf
Pemimpin gereja
dalīl
Dalil (bukti)
umr
Umur
ghaira
Gairah (hasrat)
daraja
Derajat
wajh
Wajah
darura
Darurat
wājib
Wajib
awwal
Awal
walīy
Wali
atlas
Atlas
waīya
Wasiat
asli
Asli
wilāya
Wilayah
‘amal
Amal
yaqīn
Yakin
ala
Alat
ya`nī
Yakni
alama
Alamat
Nashichah
Nasehat/nasihat
alami
Alami
Ijazah
Ijazah/ijasah

Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih familiar membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu nisan. 
 
2. Bidang Pendidikan 
Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah pesantren. Asal katanya pesantren kemungkinan shastri (dari bahasa Sanskerta) yang berarti orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan pesantren diambil alih Islam. 
Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan Islam. Siswa tinggal bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Seputar peran signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horizontal yang signifikan. 
 
3. Bidang Arsitektur dan Kesenian 
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal yang dibangun pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah digantikan semacam meru, susunan limas tiga atau lima tingkat, serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid Banten memiliki meru lima tingkat, sementara masjid Kudus dan Demak tiga tingkat. Namun, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar sama dengan budaya induknya.
Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun di Indonesia. Menara dimaksudkan sebagai tempat mengumandangkan adzan, seruan penanda shalat. Peran menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah adzan dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip bangunan candi Hindu. Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara, bangunan-bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya, terutama meru dan limas bertingkat tiga. 
Pusara. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi tubuh dikebumikan ini ditandai pula batu nisan. Nisan merupakan bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu, melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang yang dikebumikan. 
Seni Ukir. Ajaran Islam melarang kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan dipegang para penyebar Islam dan orang-orang Islam Indonesia. Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi serta ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang terkenal karena seni ukirnya. 
Seni Sastra. Seperti India, Islam pun memberi pengaruh terhadap sastra nusantara. Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan kembangan sastra Hindu-Buddha. Sastrawan Islam melakukan gubahan baru atas Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang membentangkan persoalan tasawuf). Suluk gubahan Fansuri misalnya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.

  • Masuknya Kristen ke Indonesia
Berdasarkan kutipan Lukman al-Hakim dari buku Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, permulaan perkembangan agama Kristen di Indonesia sebagaimana ditunjukkan oleh Y Bakker terjadi pada pertengahan abad ke-7 dengan didirikannya episkopat Syria di Sumatra. Tetapi hasil krsitenisasi mulai tampak sejak dilakukannya secara gencar oleh orang-orang Portugis, terutama di Maluku pada abad ke-16. Setelah itu, Organisasi dagang Belanda (VOC) yang didirikan pada tanggal 1602 memang tidak memiliki nuansa politik yang berusaha menciderai Islam. Namun ketika diminta untuk menyebarkan nilai-nilai Kristen di tanah jajahan, maka tidak ada cara lain kecuali mengikuti cara yang telah diperaktekkan oleh Portugis sebelumnya berupa pemaksaan.
Sebagai perwujudannya, sebagaimana dituturkan oleh Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda, pada tahun 1661 VOC melarang umat Islam melaksanakan ibadah haji. Kebijakan ini merupakan realisasi anjuran Bogart, seorang Katolik ekstrim di parlemen Belanda. Dalam asumsi Bogart, para jemaah haji tersebut sangat berbahaya secara politis. Karena itu, melarang perjalanan ibadah haji jauh lebih baik ketimbang menembak mati para haji itu. C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa menuturkan bahwa pada awalnya pusat penyebaran Kristen adalah Maluku. Banyak orang Maluku yang menjadi tentara yang kemudian dikirim ke kawasan-kawasan utama militer Belanda di Jawa, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Mereka itulah yang pertama kali membentuk jemaah Kristen pribumi.

Agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
 
 Pengaruh kristen dalam bidang seni:

Arsitektur Gereja

Mata rantai yang menghubungkan seni, dalam hal ini adalah arsitektur, Eropa zaman pertengahan (Gothik) dengan seni arsitektur Romawi disebut dengan periode Romanesque. Karya seni patung Gothik awal adalah dari pengaruh agama Kristen, serta lahir dari dinding gereja dan biara.
Arsitektur Gotik berkembang dari Perancis sekitar abad 13 hingga 16. Cirinya dapat kita kenali salah satunya dari seni atap dengan apsis setengah lingkaran, apsis bertudung di jendela dan pintu mulai dibentuh sehingga mempunyai kuncup seperti bawang. Ciri yang lain adalah bangunan dengan konsep yang memberi keleluasaan cahaya dalam gedung gereja, Allah dipahami hadir di mana saja seperti cahaya. Cahaya dihayati sebagai sifat ilahi. Interior gereja dibuat dengan masuknya cahaya matahari secara estetis dengan sebutan struktur diafan, artinya tembus cahaya (diaphanous = jernih, terang, bening). Yang terindah dari sumbangan Gotik terhadap konsep cahaya adalah pemakaian kaca bergambar yang disebut stained glass sebagai pencerahan mistik. Abas Suger (1081-1151) merupakan salah satu penggagas efek kaca pada benda-benda agar kecerlangan dan kesan dirasakan di dalam gereja.
Contoh di Indonesia adalah GPIB Imanuel Jakarta.








Tuesday, November 11, 2014

Sunday, October 26, 2014

Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Makhluk Individu


Hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial

Secara fisiologis hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial itu bersifat bebas, tidak mempunyai hubungan yang ketat antara sesama. Kata manusia berasal dari kata manu (Sansekerta) atau mens (Latin) yang berarti berpikir, berakal budi, atau homo (Latin) yang berarti manusia. Istilah individu berasal dari bahasa Latin, yaitu individu, yang artinya sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau suatu kesatuan yang terkecil dan terbatas. Secara kodrati, manusia merupakan mahluk monodualis. Artinya selain sebagai mahluk individu, manusia juga berperan sebagai mahluk sosial. Jiwa dan raga inilah yang membentuk individu.
Manusia juga diberi kemampuan (akal, pikiran, dan perasaan) sehingga sanggup berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Disadari atau tidak, setiap manusia senantiasa akan berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya guna memenuhi hakikat individualitasnya (dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya). Hal terpenting yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi dengan akal pikiran, perasaan dan keyakinan untuk mempertinggi kualitas hidupnya. Manusia adalah ciptaan Tuhan dengan derajat paling tinggi di antara ciptaan-ciptaan yang lain. Dalam pembahasan tentang hakikat manusia sebagai makhluk individu dan sosial kita bisa melihatnya dalam kehidupan sehari-hari, contohnya pada saat kita kesusahan pasti kita membutuhkan bantuan dari orang lain dan ketika kita mempunyai persoalan yang bersifat pasti kita akan menjadi manusia yang individu agar orang lain tidak dapat mengetahui persoalan pribadi yang kita punya.


Pengertian manusia sebagai makhluk individu
manusia, makhluk, dan individu secara etimologi diartikan sebagai berikut:
  1. Manusia berarti mahluk yang berakal budi dan mampu menguasai mahluk lain.
  2. Mahluk yaitu sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan.
  3. Individu mengandung arti orang seorang, pribadi, organisme yang hidupnya berdiri sendiri.

Manusia sebagai makhluk sosial
Menurut kodratnya manusia adalah mahkluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan alka dan pikiran yang berkembang serta dapta dikembangkan. dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (berinteraksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia jika ia tidak berhubungan dengan manusia lain.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak bisa berjalan dengan tegak,. Dengan bantuan manusia lain, manusia bisa menggunakan tangan, berbicara atau berkomunikasi, serta mengembangkan potensi kemanusiannya.
Dapat disimpulkan bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial krena beberapa alasan, yaitu:
  1. Manusia tuduk pada aturan dan norma sosial.
  2. Perilaku manusia mengharapakan suatu penilaian dari orang lain.
  3. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
  4. Potensi manusia akan berkembang secara maksimal jika ia hidup bersama dengan manusia lainnya.

Implikasi dari sifat kesosialan manusia

Manusia memiliki dua peranan yang harus dilakoni dalam kehidupan ini, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai seorang individu manusia memiliki sifat egois, ambisius dan tidak pernah puas. Sedangkan dalam peranannya sebagai makhluk sosial mereka dituntut untuk bisa berbagi dan saling tolong menolong.

Interaksi sosial menjadi kunci dalam hubungan sosial

Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku,interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan – aturan dan nilai – nilai yang ada dapat ditaati dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing – masing,maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari – hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lainnya,ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran.dikarenakan Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan timbal balik berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat.



Monday, April 21, 2014


 Tourism

Ø  Definition of Tourism

Tourism is classically regarded as traveling for recreation although this definition has been expanded in recent years to include any travel outside of one's normal working or living area.
The tourist originated when large numbers of middle class people began to join aristocratic travelers. As societies became wealthier, and people lived longer, it became not only possible but probable that lower-middle and middle class people steadily employed would retire in good health and with some significant savings.
The tourist is usually interested (among other things) in the destination's climateculture or its nature. Wealthy people have always traveled to distant parts of the world, not incidentally to some other purpose, but as an end in itself: to see great buildings or other works of art; to learn new languages; or to taste new cuisines.
Organized tourism is now a major industry around the world. Many national economies are now heavily reliant on tourism.
The term tourism is sometimes used pejoratively, implying a shallow interest in the societies and natural wonders that the tourist visits.

Ø  History of Tourism

The words tourist and tourism were first used as official terms in 1937 by the League of Nations but the tourism industry is much older than that. It was defined as people travelling abroad for periods of over 24 hrs, but the term may also include travelling within one's own country, and in a broader sense it can include daytrips.
King George III is widely acknowledged as the first "tourist", who took regular holidays to the seaside town of Weymouth when in poor health.
"Tourism", like any other form of economic activity, occurs when the essential parameters come together to make it happen. In this case there are three such parameters:
  1. Disposable income, i.e. money to spend on non-essentials
  2. Time in which to do so.
  3. Infrastructure in the form of accommodation facilities and means of transport.
Individually, sufficient health is also a condition, and of course the inclination to travel. Furthermore, in some countries there are or have been legal restrictions on travelling, especially abroad.
The word tour gained common acceptance in the eighteenth century, when the Grand Tour of Europe became part of the upbringing of the educated and wealthy British nobleman or cultured gentleman. Grand tours were taken in particular by young people to "complete" their education. They travelled all overEurope, but notably to places of cultural and aesthetic interest, such as Rome, Tuscany and the Alps.
Most major British artists of the eighteenth century did the "Grand Tour", as did their great European contemporaries such as Claude Lorrain. Classical architecture, literature and art have always drawn visitors to Rome, Naples, Florence.
The Romantic movement (inspired throughout Europe by the English poets William Blake and Lord Byron, among others), extended this to gothick countryside, the Alps, fast flowing rivers, mountain gorges, etc.
The British Aristocracy were particularly keen on the Grand Tour, using the occasion to gather art treasures from all over Europe to add to their collections. The volume of art treasures being moved to Britain in this way was unequalled anywhere else in Europe, and explains the richness of many private and public collections in Britain today. Yet tourism in those days, aimed essentially at the very top of the social ladder and at the well educated, was fundamentally a cultural activity. These first tourists, though undertaking their Grand Tour, were more travellers than tourists.
Tourism in the modern sense of the word did not develop until the nineteenth century; that was leisure travel, which today forms the larger part of the tourist industry.
Again the leisure industry was a British invention, for sociological reasons. Britain was the first European country to industrialize, and the industrial society was the first society to offer time for leisure to a growing number of people. Not initially the working masses, but the owners of the machinery of production, the economic oligarchy, the factory owners, the traders, the new middle class.
Leisure travel had developed as an offshoot of cultural tourism, partly as health tourism. Some English travellers, after visiting the warm lands of the South of Europe, decided to stay there either for the cold season or for the rest of their lives, but this was a very minor development.
It was not until the nineteenth century that leisure tourism really began to develop, as people began to "winter" in warmer climates, or to visit places with health-giving mineral waters, in order to relieve a whole variety of diseases from gout to liver disorders and bronchitis.
The British origin of this new industry is reflected in many place names: At Nice, one of the first and most well established holiday resorts on the FrenchRiviera, the long esplanade along the sea front is known to this day as the Promenade des Anglais; and in many other historic resorts in continental Europe, old well-established palace hotels have names like the Hotel Bristol, Hotel Carlton or Hotel Majestic - reflecting the dominance of English customers to whom these resorts catered in the early years.
Even winter sports, as a leisure activity rather than as a means of transport, were largely invented by the British leisured classes. It was English tourists who invented winter sports at the Swiss village of Zermatt (Valais).
Until the first tourists appeared, the villagers of Zermatt just thought of the long snowy winter as being a time when the best thing to do was to stay indoors and make cuckoo clocks or other small mechanical items.
Organized sport was already well established in Britain long before it reached other countries. The vocabulary of sport bears witness to this: rugby, football, and boxing are all British sports, and even Tennis, originally a French sport, was formalized and codified by the British, who invented the first national championship in the nineteenth century, at Wimbledon. Winter sports were a natural answer for a leisured class looking for amusement during the coldest season.
Mass tourism did not really begin to develop, however, until two things had occurred. 
a) improvements in communications allowed the transport of large numbers of people in a short space of time to places of leisure interest, and 
b) greater numbers of people began to enjoy the benefits of leisure time. The biggest development of all was the invention of the railways, which brought many of Britain's seaside towns within easy distance of Britain's large urban centres.
The father of modern mass tourism was Thomas Cook who, on July 5, 1841, organised the first package tour in history, by chartering a train to take a group of teetotalers from Leicester to a rally in Loughborough, some twenty miles away. Cook immediately saw the potential for business development in the sector, and became the world's first tour operator.
He was soon followed by others, with the result that the tourist industry developed rapidly in early Victorian Britain. Initially it was supported by the growing middle classes, who had time off from their work, and who could afford the luxury of travel and possibly even staying for periods of time in boarding houses.
However, the Bank Holiday Act of 1871 introduced, for the first time, a statutory right for workers to take holidays, even if they were not paid at the time.
The combination of short holiday periods, travel facilities and distances meant that the first holiday resorts to develop in Britain were towns on the seaside, situated as close as possible to the growing industrial connurbations. For those in the industrial north, there were Blackpool in Lancashire, and Scarboroughin (Yorkshire). For those in the Midlands, there were Weston-super-Mare in Somerset and Skegness in Lincolnshire, for those in London there wereSouthend-on-Sea, Broadstairs, Brighton, Eastbourne, and a whole collection of other lesser known places. But for a century, tourism remained a national industry, with foreign travel being reserved, as before, for the rich or the culturally curious. A minority of resorts, such as Bath, Harrogate and Matlock, emerged inland, a trend boosted by the emergence of the Dutch company Centre Parcs.
Similar processes occurred in other countries, though at a slower rate, given that nineteenth century Britain was far ahead of any other nation in the world in the process of industrialisation. Billy Butlin developed low-cost holiday camps with chalet-style budget accommodation and mass catering near many attractive beaches. Other companies, such as Pontins followed his example, but their popularity waned with the rise of package tours and the increasing comforts to which visitors became accustomed at home.
In the USA, the first great seaside resort, in the European style, was Atlantic City, New Jersey.
In Continental Europe, early resorts included Ostend (for the people of Brussels), and Boulogne-sur-Mer (Pas-de-Calais) and Deauville (Calvados) (forParisians).
Even so, increasing speed on railways meant that the tourist industry could develop slowly, even internationally. By 1901, the number of people crossing theEnglish Channel from England to France or Belgium had already passed 0.5 million per year.
Other phenomena that helped develop the travel industry were paid holidays:
  • 1.5 million manual workers in Britain had paid holidays by 1925
  • 11 million by 1939 (30% of the population in families with paid holidays)
What the railway did for domestic tourism in the nineteenth century, the airliner and the package tour have done for international tourism since 1963. For the worker living in greater London, Brindisi today is almost as accessible as Brighton was 100 years ago.
Tourism has become a multi-billion pound international industry, and one that is growing in developed countries (source countries) at a rate considerably faster than annual growth levels.
Receptive tourism is also growing at a very rapid rate in many developing countries, where it is often the most important economic activity in local GDP.
Mass tourism has been stagnating and declining in recent years. The Costa del Sol and the Baleares, which attracted millions of tourists annually during the1980s and 1990s, and other resorts such as Cancun have seen declining tourist numbers as they have become seen as untidy or ugly or simply lacking in kudos due to their past popularity. The mass tourist economy has also been hit badly by terrorism, with specific attacks on destinations such as Bali andKenya. For the past few decades other forms of tourism have been becoming more popular, particularly:
In recent years, second holidays or vacations have been becoming more popular as people have more disposible income. Typical combinations are a package to the typical mass tourist resort, with a winter skiing vacation or weekend break to a city or national park.
Ø  Benefits of Tourism
The key benefits of tourism are economic, socio-cultural and environmental.
·         Economic benefits - Tourism can provide direct jobs to the community, such as tour guides or hotel housekeeping. Indirect employment is generated through other industries such as agriculture, food production, and retail.
Visitors' expenditure generates income for the local community and can lead to the alleviation of poverty in countries which are heavily reliant on tourism.
Economic diversification is important to areas where there may be a concentration of environmentally damaging industries such as mining or manufacturing.
Infrastructure development such as airports, roads, schools, hospitals, and retail areas have the potential to benefit the local community and can aid economic development by allowing more trade and better flow of goods and services.
·         Social benefits - Tourism can bring about a real sense of pride and identity to communities. By showcasing distinct characteristics of their ways of life, history and culture, tourism can encourage the preservation of traditions which may be at risk of
·         Environmental benefits - Tourism provides financial support for the conservation of ecosystems and natural resource management, making the destination more authentic and desirable to visitors. It also adds more value to the local tourism business.

Ø  Negative Impacts of Tourism

Many of the negative impacts from tourism occur when the amount of visitors is greater than the environment's ability to cope with the visitor volume.
Some of the consequences of exceeding the environmental capacity include strain on already scarce resources such as water, energy, food and natural habitat areas. In addition, unchecked tourism development may lead to soil erosion, increased pollution and waste, discharges into the sea and waterways, increased pressure on endangered species of animals and plants, and heightened vulnerability to deforestation, as well as loss of biodiversity.
The same way that tourism can encourage the preservation of socio-cultural authenticity of host communities, mass tourism may also erode traditional values by introducing foreign elements which are in conflict with the cultural, historical, and religious heritage of the community.
The tourism paradox therefore, lies in the tension between our desire to travel the world, and the need to provide the most benefits with the least harm. Many well intentioned people in the public and private sector are hard at work looking for solutions that will provide viable, long-term socio-economic benefits for tourist areas.
Building a culture of sustainability will however, take time and you, the traveler, can become part of the solution.
Sources: